Selamat datang di dean blogspot


Rabu, 11 November 2009

Tautan hati

KETULUSAN HATI

Ketulusan hati lebih sering dihubungkan dengan perbuatan baik. Namun mungkin jarang yang mengkaitkannya dengan kesuksesan. Padahal untuk meraih sukses sebenarnya adalah ketulusan hati. Tulus dengan meraih sukses? Ya itu benar!bingung? Mari kita mengulasnya bersama.

Dale Cernergie dalam buku Bagaimana Mencari Kawan Dan mempengaruhi kawan (How to Win Friends and Influence People) menepatkan senyum tulus sebagai salah satu prinsip yang harus dijalankan untuk merih sukses. Ini adalah langkah awal guna menuju langkah-langkah lanjutan menuju sukses.

Ketulusan hati sejati yang memancar keluar dalam keseharian seseorang akan membawa kebahagiaan banyak orang di sekelilingnya. Misal, senyum tulus dari seorang ibu melipurlara sang anak. Begitupun senyum tulus seorang sahabat. Kesedihan yang kita rasakan bisa meleleh begitu saja mana kala sahabat kita memberikan penghiburan sambil terseyum penuh ketulusan. Bahkan senyum tulus dari orang asing yang tidak kita kenal pun bisa memiliki daya yang sama. Menyejukan, menenangkan, senyum yang tulus membawa aura positif yang bisa ditularkan pada lingkungan sekitar.

Orang yang tulus akan melakukan perbuatan baik apa pun, besar maupun kecil, dalam kesehariannya. Tanpa memandang siapa obyek yang dikenai perbuatan baiknya mengucapkan terima kasih kepada tukang parkir, pelayan rumah makan, petugas pom bensin, kondektur bis, bahkan kepada polisi cepek yang membantu memutar di jalan. Jelas, orang yang melakukan perbuatan baik dengan mengucapkan terima kasih atas pelayanan orang kecil sambil terseyum tulus tidak mengharapkan imbalan apa-apa. Tidak ada kepentingan apapun disana, semua dilakukan dengan tulus, dengan kesadaran bahwa peran mereka yang sering kali di kecilkan orang banyak sesungguhnya amatlah bermanfaat buat kita.

Untuk itu sepatutnya kita berterima kasih dan bersikap sopan kepada mereka. Ya orang tulus tidak hanya berbuat baik kepada mereka yang berstatus tinggi yang notabene lebih berpotensi mendatangkan keuntungan suatu saat kelak. Sungguh, akan lebih banyak orang yang akan berbahagia jika semakin banyak orang tulus yang menghargai semua orang. Apapun kedudukannya.


Tulus dalam melakukan perbuatan

Baik tanpa keterpaksaan,

Tanpa mengharap balasan apa pun

Tanpa peduli apa pun respon orang lain


Bagaimana Melatih Ketulusan

Jelas bahwa semua berpulang kembali pada ketulusan hati yang mengikat di keseharian kita, Nah pertanyaan mendasarnya sekarang adalah, karena ketulusan hati tidak bisa dibuat-buat, bagaiman cara membentuknya? Bagaimana kita bisa melatih ketulusan hati?.....

Jawabanya klasik yang tidak dapat di bantah dan tidak dapat di ganggu gugat adalan dengan cara meditasi. Berbahagialah kita karena Guru Agung kita Buddha Gotama telah menunjukan jalan untuk itu. Kita hanya tinggal mempraktekanya. Meditasi yang cocok untuk melatih ketulusan hati adalah meditasi vipasana.

Meditasi vipasana bertujuan untuk mengikis sakayaditthi (pandangan salah mengenai diri). Dengan leyapnya atau terkikisnya sakayaditthi, sifat egois kita juga akan semakin juga akan semakin melemah dan pada gilirannya menjadikan semakin tulus. Saat melakukan kebaikan, misalnya berbagi dan menolong sesama, kita tidak lagi melakukannya demi memasukan ego, yakni supaya dipuji dan dikenal sebagai orang baik, atau supaya mandapatkan ucapan terima kasih dari orang yang kita bantu. Kita melakukan kebaikan demi perbuatan itu sendiri. Bukan karena terpaksa, tidak enak hati, atau karena ada pemrih di belakangnya.

Kita melakukan kebaikan bagai seorang ibu yang melindungi anak tunggalnya. Hanya memberi tanpa menuntut balik. Ketulusan semacam ini bila tulus bila terus di praktekan lama kelamaan akan menumbuhkan perasaan positif dalam diri kita sekaligus dalam benak orang lain di sekitar kita.

Selain itu, kita juga harus memiliki keinginan yang kuat untuk mengubah diri, dengan mengikuti empat sammapadhana. Pertama, mencegah sifat-sifat buruk yang belum timbul agar tidak muncul; kedua, menghilangkan atau meleyapkan sifat-sifat buruk yang telah timbul; memunculkan sifat-sifat baik yang belum muncul; dan keempat mengembangkan sifat baik yang telah muncul.

Untuk merubah sifat-sifat buruk yang sudah terlanjur berkembang dan tertanam kuat di butuhkan usaha luarbiasa dan persistensi. Begitu kita bisa memutus rangkaian sifat-sifat buruk ini, kita seolah-olah kita masuk ke dimensi baru. Itulah hasil dari usaha yang tak kenal lelah yang aptut kita dapatkan.

Ringkas ucap, tulisan ini sama sekali bukan mengajak Anda untuk melatih ketulusan demi meraih sukses, melainkan mengajak Anda untuk melatih ketulusan hati demi ketulusan itu sendiri. Perkara bahwa ketulusan hati ini pada akhirnya membawa barbagai kebaikan dalam. Hidup Anda. Termasuk kesuksesan hidup.

Itu hanyalah salah satu hasil logisnya. Yang tidak perlu kita harap-harapkan, pun akan datang dengan sendirinya jika semua faktor mendukung. Jadi, mari kita sama-sama melatih dan mempraktekkan ketulusan hati dalam hidup ini, demi kebahagian semua mahluk, bukan demi hal lain.


JIKA KITA SUDAH KEHILANGAN KEPERCAYAAN BANYAK ORANG, HILANG JUGA KESEMPATAN KITA UNTUK MERAIH IMPIAN, KARNA IMPIAN BISA DI CAPAI DENGAN BANTUAN ORANG-ORANG YANG TEPAT DI SEKITAR KITA..


Pustaka Dan Bahan Pendukung

- 7 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif (Stephen R. Covey)

- Bagaimana mencari kawan dan mempengaruhi orang (dale Camegie)

- Talk Show “ketulusan untuk berbuat baik” Bhikkhu Utamo Mahatera

HIV/ AIDS

Pendahuluan

Penyakit HIV/ AIDS telah melanda seluruh dunia, termasuk Indonesia, tanpa ada tanda-tanda surut. Malah sebaliknya, di banyak wilayah di dunia, termasuk di Indonesia, jumlah penduduk yang terserang terus meningkat dengan pesat.

HIV/ AIDS, melebihi penyakit apa pun, mempunyai dampak yang luas terhadap kehidupan fisik, mental, sosial, spiritual dari Orang Dengan HIV/ AIDS (ODHA), anggota keluarganya, masyarakat di sekitarnya, serta masyarakat luas.

Tulisan ini bermaksud untuk merenungkan apa yang dapat disumbangkan oleh Agama Buddha (Buddha Dharma = ajaran Buddha) untuk mengurangi masalah dan meringankan penderitaan dari berbagai pihak tersebut di atas.

Individu

Seorang yang dinyatakan terinfeksi HIV akan mengalami goncangan mental yang amat hebat. Ini disebabkan karena penyakit HIV/ AIDS dilihat sebagai penyakit yang “tidak ada obatnya” dan “selalu berakibat fatal” serta adanya persepsi bahwa pengidap HIV/ AIDS adalah orang yang “bermoral bejat”. Ini karena penularan HIV sebagian besar terjadi melalui penggunaan alat suntik yang tidak steril oleh para pengguna obat, dan melalui hubungan seksual yang tidak terlindung dan berganti-ganti pasangan. Persepsi-persepsi seperti ini selain meluas di kalangan masyarakat, juga dialami oleh ODHA sendiri, dan anggota keluarganya yang mendampingi dan merawatnya. Sebagai akibat dari persepsi-persepsi yang keliru tersebut, para ODHA selalu menghadapi berbagai bentuk stigmatisasi dan diskriminasi dalam kehidupannya sehari-hari.

Dari kalangan agama sendiri, sering kali terjadi para pemuka agama menambah stigmatisasi dan diskriminasi tersebut dengan menekankan “dosa” yang dianggap telah dilakukan oleh para ODHA. Seruan untuk “bertobat” sering digunakan untuk memberikan stigma dan mendiskriminasikan para ODHA.

Masyarakat

Perlakuan diskriminatif dan stigmatisasi oleh masyarakat terhadap para ODHA menimbulkan penderitaan yang luar biasa bagi ODHA dan keluarganya. Untuk menghindari hal itu, sering kali mereka berusaha menutupi fakta bahwa dirinya atau anggota keluarganya adalah ODHA.

Keadaan ini menimbulkan situasi dimana upaya untuk menjangkau para ODHA mengalami banyak rintangan. Oleh karena risiko penularan HIV/ AIDS banyak tergantung pada perilaku manusia, maka pada gilirannya, situasi ini menyulitkan berbagai upaya untuk mengurangi risiko penularan HIV/ AIDS lebih lanjut.

Apakah yang dapat disumbangkan Agama Buddha (Buddha Dharma) di dalam situasi masyarakat yang penuh penindasan dan penderitaan seperti ini?

Agama Buddha (Buddha Dharma)

Sang Buddha Gautama mengajarkan agar manusia melihat kehidupannya dan alam semesta di sekitar dirinya sebagaimana apa adanya, yakni bersifat 'tidak kekal' (anicca), 'tidak memuaskan' (dukkha), dan 'tidak ada sesuatu yang abadi dalam diri' (anatta, tanpa-diri). Keberadaan individu dalam arus kehidupan ini didorong oleh keinginan (tanha) untuk terus berada sebagai individu di satu pihak, dan di lain pihak terliputinya batin manusia oleh ketidaktahuan (avijja) mengenai ketiga sifat dasar eksistensi tersebut di atas. Manusia yang tidak mengenal dan menyadari hakekat kehidupan tersebut diatas akan terus-menerus berada dan tunggang-langgang di dalam roda kehidupan yang terus berputar tanpa awal tanpa akhir (samsara). Intisari yang mendorong perputaran ini adalah 'aku' (atta, diri, ego) yang diliputi ketidaktahuan dan ingin hidup secara abadi. 'Aku' itu terwujud dalan kehidupan sehari-hari sebagai keserakahan (loba), ketidak-senangan (dosa) dan ketidak-tahuan (moha).

Manusia yang mulai menyadari hakekat dari alam dan kehidupan ini yakni anicca, dukkha dan anatta akan mulai berpaling dan berupaya untuk membebaskan diri dari roda kehidupan yang tanpa awal tanpa akhir ini. Dengan kata lain, ia akan berupaya mengakhiri loba, dosa dan moha dalam dirinya, dan pada akhirnya kelak meng-akhiri 'aku'-nya (atta). Manusia yang mencapai lenyapnya 'aku' dikatakan mencapai Pembebasan, mencapai nibbana (nirvana, “padam”artinya padamnya 'aku'). Manusia yang demikian tidak lagi tunggang-langgang dalam arus kehidupan tanpa akhir, melainkan telah “bebas” darinya. Namun perlu diingat bahwa manusia yang demikian tidak lagi memiliki 'aku', tidak lagi memiliki kesadaran individual. Manusia demikian dinamakan arahat.

Bagaimanakah keadaan batin seorang arahat, manusia yang tidak lagi memiliki kesadaran individual itu? Sang Buddha Gautama hanya menyatakan: “Ada sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak terbentuk, tidak berubah ...” Karena sesuatu itu tidak lagi bersifat individual, maka ia dikatakan bersifat satu/tunggal, universal dan bebas dari waktu, ruang dan dualitas. Sesuatu yang bukan

individual itulah yang terdapat secara permanen dalam batin seorang arahat, sampai ia meninggal dunia. Ke mana seorang arahat setelah meninggal, tidak dapat ditangkap lagi oleh kesadaran empiris manusia, oleh karena kesadaran individual seorang arahat sudah tidak ada lagi bahkan selagi ia masih hidup. Yang tinggal adalah sesuatu yang universal di atas.

Sang Buddha mengajarkan jalan yang dapat ditempuh manusia untuk mengakhiri 'aku'-nya dan dengan demikian mencapai pembebasan/ nirvana; jalan itu dikenal sebagai “Jalan Suci Berunsur Delapan.” Secara singkat, kedelapan unsur dari Jalan Suci itu dapat diringkas menjadi tiga kelompok: (1) Sila (Moralitas); (2) Samadhi (konsentrasi & meditasi) dan (3) Pannya (Kearifan).

Jalan Suci ini sangat relevan dengan topik tulisan ini, yakni bagi para ODHA, keluarganya dan masyarakat luas.

Buddha Dharma & HIV/AIDS

Sila (Moralitas)

Ada atau tidak ada HIV/ AIDS di muka bumi ini, moralitas (sila) adalah masalah manusia yang abadi. Dalam Buddha Dharma, moralitas tidak dipandang sebagai tanggung jawab manusia terhadap “Tuhan Pencipta”, melainkan sebagai tanggung jawab terhadap diri sendiri, dalam rangka menempuh Jalan Suci menuju Pembebasan. Oleh karena itu, sila hanya bekerja dan efektif apabila didasarkan pada kesadaran pribadi, bukan pada pemaksaan oleh suatu institusi keagamaan dari luar diri.

Apabila diakui bahwa penularan HIV/ AIDS untuk sebagian besar terjadi melalui perilaku yang tidak sesuai dengan sila hubungan seksual tak terlindung dengan pasangan yang berganti-ganti, dan penggunaan obat suntik dengan alat suntik yang tidak steril maka dapat dipahami bahwa pengembangan dan peningkatan sila di dalam diri individu berdasarkan kesadaran pribadi merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi penularan HIV/ AIDS.

Samadhi (Konsentrasi & Meditasi)

Samadhi menempati kedudukan sentral dalam perilaku dan latihan spiritual para siswa Sang Buddha (umat Buddha). Begitu sentral sehingga meditasi Buddhis sering dan banyak mengilhami praktek meditasi di kalangan penganut agama lain.

Dalam Buddha Dharma diajarkan dua macam meditasi, yakni 'meditasi ketenangan' (samatha-bhavana) dan 'meditasi pencerahan' (vipassana-bhavana). Kedua jenis meditasi ini sering dibedakan, tetapi dapat pula dijalankan bersama-sama, secara berganti-ganti atau secara terpadu.

'Meditasi ketenangan' (samatha-bhavana) terdapat pula dalam praktek spiritual yang kita temukan dalam agama-agama lain (Sufisme, doa hening dalam Agama Kristen, dsb). 'Meditasi 38

ketenangan' menghasilkan keheningan dan ketenangan batin, yang bisa sangat mendalam. Keadaan ini sangat bermanfaat untuk memperkuat batin dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. Di sinilah peran 'meditasi ketenangan' dalam memperkuat batin para ODHA dan keluarganya pada khususnya. Namun 'meditasi ketenangan' tidak bisa menghasilkan Kearifan (pannya), yang dibutuhkan untuk tercapainya Pembebasan.

Sedangkan 'meditasi pencerahan' (vipassana-bhavana) adalah jenis meditasi yang unik, yang hanya terdapat dalam ajaran Sang Buddha. Di dalam 'meditasi pencerahan' tidak digunakan satu obyek meditasi yang diamati terus-menerus. Alih-alih, praktek 'meditasi pencerahan' pada dasarnya adalah “mengamati segala fenomena badan & batin yang muncul pada setiap saat, tanpa bereaksi sedikitpun, tanpa menolak atau melawan bila tidak enak, tanpa melekat bila enak.” Apabila pengamatan (observation, being aware) ini dilakukan terus-menerus, maka pada waktunya kelak terbukalah pencerahan-pencerahan terhadap sifat/ hakekat eksistensi sebagaimana tersebut di atas, yakni anicca, dukkha dan anatta. Pencerahan ini akan membebaskan batin dari loba, dosa dan moha, dan pada akhirnya melenyapkan 'aku' (diri, ego, atta).

Bagi seorang ODHA & keluarganya, 'meditasi pencerahan' merupakan cara yang langsung dan ampuh untuk menyadari/ melihat hakekat dari dirinya dan eksistensi pada umumnya, dan dengan demikian terbebas dari penindasan batinnya oleh penyakitnya. Batin yang bebas berarti tidak lagi terobsesi oleh keputusasaan, kemurungan, rasa bersalah, rasa tidak berguna dan sebagainya. Batin yang bebas berarti menerima dengan ikhlas, tenang dan seimbang segala sesuatu yang terjadi pada diri sendiri dari saat ke saat. Batin yang bebas berarti memiliki energi ekstra untuk dimanfaatkan secara optimal. Batin yang bebas berarti mendukung pengobatan antiretroviral yang dijalani untuk meningkatkan fungsi sistem kekebalan tubuh, suatu prinsip hubungan batin-jasmani (mind-body) yang telah dikenal dengan baik dalam disiplin psiko-neuro-imunologi.

Pannya (Kearifan)

Dengan menjalankan sila dan samadhi secara baik dan berkesinambungan, maka berangsur-angsur akan tumbuh kearifan dalam batin orang yang bersangkutan. Kearifan ini adalah kesadaran dan realisasi dari segala sesuatu yang telah dijelaskan di atas. Hanya kesadaran seperti itulah yang bisa mengubah hidup manusia. Manfaatnya bagi para ODHA & keluarganya tidak perlu diuraikan lagi.

Dengan kearifan, berkembang pula sikap-sikap yang membantu mengurangi stigmatisasi dan diskriminasi terhadap para ODHA serta kelompok-kelompok masyarakat berisiko tinggi. Sikap-sikap itu antara lain adalah: metta (cinta kasih), karuna (welas asih terhadap penderitaan orang lain), mudita (simpati terhadap kebahagiaan orang lain) dan upekkha (keseimbangan batin).

Penutup

Semoga uraian singkat tentang Agama Buddha (Buddha Dharma) dalam kaitannya dengan HIV/ AIDS ini dapat mengilhami para ODHA & keluarganya serta masyarakat luas untuk menggali dan memanfaatkan mutiara-mutiara yang tersimpan dalam ajaran Sang Buddha, tanpa perlu berpindah agama.

kalyana dhamma

Dhamma yang merupakan bahan untuk menaati Pancasila (Kalyana Dhamma)


Kehidupan manusia telah ditandai dengan adanya perubahan pola hidup pada setiap bidang, dimulai dari segi ekonomi, sosial, budaya dan teknologi. Perubahan yang terjadi membawa kemajuan sekaligus menimbulkan efek kegelisahan bagi setiap manusia. Salah satu hal yang sangat menggelisahkan adalah masalah moral.

Hidup di tandai dengan ketidak kekalan (anicca), yang tidak kekal ini, menyimpang dari yang di harapkan sehingga menimbulkan ketidak puasan dan penderitaan (dukha). Berbagai masalah yang di hadapi masing-masing manusia di kehidupan ini menimbulkan banyak kendala-kendala dalam menghadapi tantangan yang semakin mengglobal baik dari lapisan masyarakat bawah, sedang maupun masyarakat kalangan atas. Kebanyakan yang terjadi adalah masalah kemiskinan yang di hadapi kalangan bawah, hal ini juga tidak menuntut kemungkinan untuk kalangan-kalangan yang lainnya seperti kalangan atas meskipun mereka tidak menghadapi kesulitan perekonomian namun banyak terjadi hal yang lebih menyedihkan karena ketamakan atau lobha yang di miliki bisa terjadi kemungkinan mereka akan mengalami kemerosotan moral karena mereka lupa akan pentingnya membina diri dan mengenal adanya kesadaran. Kemiskinan yang terjadi di lapisan masyarakat bukan hanya karena kemiskinan materi namun hal ini bisa saja terjadi pada batin manusia yang di tujukkan dengan kemerosotan moral.

Buddhisme sebagai agama (way of life) dengan penganut minoritas khususnya di Indonesia mempunyai dasar filosofi bahwa hidup merupakan masalah dan menawarkan jalan pengentasan terhadap permasalahan secara nyata. Kotbah pertama Buddha secara tegas menjelaskan bahwa semua fenomena kehidupan mengandung permasalahan namun dapat diatasi dengan menghilangkan faktor penyebab masalah (S.V.421-422). Untuk menghadapi masalah ini perlunya pengertian yang tepat tentang adanya penyadaran terhadap praktek moralitas.

Praktek moralitas sulit dicari satu kesamaan visi karena dalam penggalian maknanya sendiri akan berlainan dikarenakan budaya dan kultur masyarakat yang berbeda. Namun sebagai seorang Buddhis kita sendiri sudah mempunyai awalan dasar yakni Pancasila Buddhis yang menjadi basik dari praktek moralitas itu sendiri. Pedoman ini menjadi sangat penting karena apabila kita tidak mempunyai suatu pedoman, maka manusia tidak bisa memilih yang terbaik untuk dirinya.

Pikiran, merupakan satu point yang perlu diperhatikan disini. Ialah yang memberikan batasan sendiri bagi kita untuk menilai suatu tindakan apakah termasuk dalam moralitas atau sebaliknya. Sebelum kita melakukan suatu tindak laku, hendaknya kita menggunakan Pikiran, apakah ia bermanfaat, membahagiakan dan mendamaikan diri sendiri dan bagi semua makhluk. Hal ini tidak terbatas saja berlaku pada kita sebagai seorang Buddhis, namun bagi semua manusia dan makhluk lain.